Selasa, 07 Juli 2009

MENUNGGU ANAKKU

Seorang lelaki terjepit diantara reruntuhan rumahnya. Pelan dengan menahan rasa sakit.

Atmojo : (berusaha mengangkat gawangan pintu yang menindih tubuhnya) akh……. Oeeeee… aku disini… aku terjepit…. Cepat, kakiku mungkin patah. Siapa yang mendengarku. Benar tidak ada yang mendengar? Kalo begitu jangan tolong aku, tolong dulu yang lain. Cepat dibawah almari diantara tumpukan runtuhan tembok itu mungkin adalah istriku. Jangan hiraukan aku, nanti sajalah, aku gampang. Aku bisa atasi kesulitanku sendiri. Tapi tidak bagi istriku. Cepat…… kalian pada kemana, dimana kalian, jangan pada lari, jangan pada ngumpet. Oeeeeee…. Istriku terjepit. Dia minta tolong, kalian tidak mendengar, aku juga sedang ada masalah besar pada kakiku! Semuanya bisu…… diam. Apa kalian mati?

Mengangkat benda yang menjepitya. Kemudian bangun tergopoh.

Atmojo : benar ternyata kalian juga mati, pantes saja tidak mendengar teriakanku, sampai suaraku sembret. Kali ini aku tidak lagi bermain sandiwara, kau pikir pincangku pura-pura dengan ditindih bangunan rumah yang berat itu? Jangan sembarangan, rumahku sudah standart, kau lihat saja lantai yang berkeramik dengan tiang penyangga betonnya, aku desain semenarik mungkin, aku orangnya tidak mau setengah-setengah, bangunan ini dibangun dengan pertimbangan kenyamanan, artistic, kemewahan walaupun tidak mewah-mewah amat tapi paling tidak rumahku nomer dua paling indah di kampung ini setelah haji maman. Ya aku tidak heran, haji maman memang tuan tanah, dan aku juga tahu rumah mewahnya itu dibangun dengan menjual sawahnya yang 2 hektar, sisanya untuk pergi haji. Tapi aku kan tidak, 9 tahun aku mengumpulkan duit dari usaha warung makanku, selama itu aku harus prihatin. Tidak datang dari langit begitu saja rumah ini. Untung saja aku punya istri seperti……. Kenapa kalian biarkan aku ngoceh terus??!! Mila….. mungkin ada beton tadi yang mampir di kepalaku…… dia ada ditumpukan itu. Dia masih lemah….. anakku… anakku juga….. aku belum sempat membopongnya… memang harus aku……..

Lampu padam, berdiri pada sebuah sudut fokos lampu

Atmojo : aku seperti orang kesetanan mengolak-alik hartaku yang telah hancur, tidak seoramh pun yang membantuku. Oaring-orang juga seperti aku, kesetanan, berteriak, air mata juga tidak adada istilah malu di kucurkan. aku lupa dimana letak kamar karena semua telah rata. Tapi aku kenal betul bau tubuh istriku. Aku belum pernah lakukan kerjaan kasar mengorek-orek bangunan sebelumnya, tapi aku sudah kelewat ganas. Kutemukan tangan istriku sedang memegang selimut, barulah aku dapatkan wajah dan kepalanya yang sudah penuh dengan darah. Benar juga perkiraanku, tubuh istriku tertindih almari pakean dari kayu jati. Aku kuasai tubuh istriku, tangisku makin menjadi. Dan orang-orang juga tidak peduli, karena masing-masing dari mereka juga menangisi kematian keluarga mereka. aku tidak malu mengekuarkan air mata karena banyak teman. (menangis) seperti layaknya paduan suara, tangisan kami……… mbah narti dukun bayi sambil menggendong bayiku yang pertama, yang masih amis oleh darah istriku, tali pusarnyapun belum sempat dipotong, dia hanya memandangku, dia satu-satunya orang yang tidak menangis, karena tidak ada yang ditangisi, hanya sebatang kara, mungkin juga dia sudah enek dengan tangisan. Aku dengar jagoanku menangis yang paling hebat saat itu, walupun belum ada yang ngajarin. Dia pasti terkejut dengan sara bising tadi. Baru saja dia keluar dari rahim ibunya, dia perlu ketenangan. “jangan berisik, berhenti menangis!” aku bilang pada semua orang, kalian tidak lihat anakku terkejut karena tingkah kalian. Biasa sajalah, kelahiran anakku jangan kalian sambut dengan kebisingan, dia kaget, apa mau tanggung jawab kalau jantung anakku putus?

Atmojo : setan, semua tak menghiraukan omonganku lagi, malah semakin gaduh mereka, seperti mengejekku.

Duduk pada sebuah puing reruntuhan. Bicara pada anaknya.

Atmojo : itulah mereka nak, sekarang tampak jelaskan kalu kita semua individualis, kita tak bisa menyalahkan mereka, memang, menangis, merasakan sedih, sengsara sebisa mungkin harus individu, jangan ajak yang lain dalam hal itu, bermainlah sendiri, nanti ketika kita senang, foya-foya ajak orang lain. Kamu tidak usah memikirkan itu, biar bapak nanti yang urus, yang terpenting sekarang bagi kamu adalah bagaimana bisa tidur dengan nyenyak, dengan perut kenyang, tidak nangis terus bisa bikin judek bapakmu.

Atmojo : bagaimana dia bisa tenang, kalo tidak ada yang bisa ngelonin? Tidak ada kasur tidur,tempat berteduh, selimut. Anakku juga tidak sembarangan makanan yang bisa masuk diperutnya, baru sejam yang lalu di lahir, dan sejak satu jam yang lalu tangisnyapun belum berhenti, sampai nafasnya tersenggal-senggal. Apa mungkin aku poeras susu ibunya yang sudah menjadi mayat?

Atmojo : sampai akhirnya anakku berhenti sendiri menangis karena kecapekan. Aku harus tipu susu ibunya dengan cengkir buah kelapa. Dia kan belum ngerti rasanya air susu ibunya, jadi mungkin itu dianggap air susu itu. Maafkan bapakmu ya nak.

Atmojo : aku sertakan penguburan istriku, ibu dari jabang bayiku dengan mayat-mayat yang lain, tidak ada tangisan sehisteris pagi tadi, karena mungkin air mata sudah pada kering, atau mungkin mereka berfikiran jangan sampai tangisan mereka menjadi lagu kebesaran penguburan missal itu. Urbanisasi tanah kuburan makin bertambah sore itu. Mata hari mulai memerah, wajah-wajah yang kumal, capek dan sedih tidak begitu jelas pada mereka, biuasa-biasa saja, barang kali secepatitu mereka telah bebal dan bosan dengan kesedihan yang mereka buat sendiri.

Atmojo : hari ini bapak makan tela nak, seperti orang-orang disini juga, beras sebenarnya ada banyak, kalo mau mengambil dari timbunan reruntuhan, tapi kami semua belum sempat, dan masih sangat panic, makanya, masakpun tidak sempat. Yang ada sajalah yang bisa dimakan ya di makan. Ibumu juga belum masak tadi, sudah keburu mati. Kamu juga ditinggal begitu saja, tak apa, selagi bapak belum menemukan air susu yang pas dengan seleramu kamu makan cengkir kelapa dulu ya?

Atmojo : tidak terhitung berapa kali dalam hari itu jabang bayiku menangis, malam ini aku buatkan sarang untuknya tidur, yang penting menghangatkan tubuhnya.

Atmojo : (pada seseorang) apa? Pertanyaan itu yang juga sore tadi ditanyakan wartawan. Apa warga belum mendapatkan bantuan? Kalo sudah mendapatkan bantuan kan ya kami tidak bakalan terlantar seperti. Kami berada di desa yang masih ujung, bantuan itu sudah dijarah oleh warga yang ada dipinggiran. Apa? Sudah cukup jangan Tanya yang neko-neko lagi, kami tidak berminat masuk tivi atau surat kabar, yang kami inginkan sekarang adalah mengisi perut kami, kami lapar.

Atmojo : Wela…… kan sudah jelas aku sampaikan barusan, kami tidak akan jadi terkenal dan dapatkan apa-apa dari wawancara itu, bukankah view-view reruntuhan dan mayat-mayat itu sudah cukup. Mendingan kalian pergi saja, aku sedang sensitif. Wartawan itu masih ngeyel juga,

Atmojo : katanya : mas ini bisa mengetuk dermawan dan masyarakat untuk bisa kirimkan bantuan ketempat ini.

Atmojo : Aku pengennya sekarang, sudah lapar.

Atmojo : Perlu waktu mas, paling enganggak mungkin besok.

Atmojo : Apa kamu bisa menjamin?

Atmojo : ya…. Bukan begitu mas……

Atmojo : belum sempat wartawan itu menyelesaikan kakalimatnya, tiba-tiba saja tinjuku melayang dimukanya, karena darahku naik barangkali, beberapa orang menisahkan terjanganku, kulihat satu giginya rontok dan darahnya keluar dari mulutnya. Itu hadiah bagi orang yang ngeyel.

Atmojo : sehari kemudian bantuan sudah bisa masuk, barangkali di pinggiran sana sudah banyak bantuan yang terkompul, sehingga biarkan truk pertama yang mabawa tumpukan dus mie instant. Banyak juga orang asing, yang belum pernah kami lihat sebelumnya berdatangan ke kampung kami. Tenda=tenda mulai dibangun, kampung kami menjadi seperti pasar malam dadakan dengan hadirnya bendera-bendera beraneka ragam instransi, yayasan, sampai pada bendera clup sepakbola tingkat RT juga ada. Kami seolah menjadi obyek, kami menjadi sangat bodoh dengan pandangan ciut mereka kearah kami.

Atmojo : baguslah kalau begitu, sebagai obyek pesakitan, obyek penelitian, obyek apalah namanya, yang penting kami tinggal terima saja belas kasihan itu. Tanpa terlalu banyak berkomentar atau banayak tuntutan.

Atmojo : masa bodoh lah, kalao ternyata bencana ini menjadi sebuah proyek bagi sebagaian yayasan atau instansi yang memakai bantuan terhadap kami sebagai stempel sakti untuk mendapatkan duit. Masa bodohlah kalo begitu. Kami seolah menjadi hewan ternak yang dimanjakan. Tak bisa melakukan aktifitas seperti biasanya.

Terjadi kericuhan

Atmojo : ha apa? Siapa lagi sekarang yang mati? Oh orang itu? Cepat angkat, panggilkan medis. Ya, harus segera dilarikan kerumah sakit, apa sudah penuh? Wajar saja sudah penuh memang sedang lagi pada sakit, lalu bagaimana? Ha…. Kamu mau tanggung jawab? Kasih minum air kelapa sementara………. Pada hari ketiga setelah jatah makan pagi, tiba-tiba saja terjadi kekacauan, lebih dari 3oo orang keracunan, semua orang yang memakan makanan bungkus itu keracunan, muntah-muntah, pucat, pingsan, banayk juga yang tak tertolong kemudian mati. Ya wajar saja racun dicampur dalam makanan………….. hehehheheeee……….

Atmojo : ya, aku akui akulah yang menaburkan racun tikus dalam makanan mereka, aku temukan racun tikus itu diantara tumpukan reruntuhan bangunan, dari pada tidak dipakai? Hahahahaaa…… bukan itu sebenarnya alasan aku menabur racun itu, entah setan darimana yang membisikiku, aku hanay inigin kami senua mati saja, daripada hidup konyol seperti ini. Setelah sarapan pagi itu di bagikan pada seluryh warga dalam bungkusan-bungkusan, kemudian warga memakannya, aku saksikan satu persatu mulai KO. Yang terpikir saat itu adalah aku juga ingin mati bersama-sama dengan mereka, karena bangunan yang menindihku kemarin tidak bisa merengut nyawaku.

Atmojo : mbah….. tolong jagakan anakku, rawatlah dia, aku tidak mampu merawatnya, paling tidak sampeyan tahu benar apa yang dibutuhkan bayiku. Kabari aku nanti mbok di alam baka kalo anakku sudah sukses, aku akan pantau dari sana.

Atmojo : Tapi ketika maut itu sudah didepan mulutku tiba-tiba saja anakku menangis, mungkin dia paham benar ayahnya ingin bunuh diri. Apa aku ajak dia mati juga bersamaku? Tapi dia belum bisa aku ajak mati, dia kan belum bisa makan nasi bungkus.

Atmojo : aku jadi merasa bersalah…… tapi brengseknya lagi keika keributan itu terjadi, ketika orang-orang kalut pengen menyelamatkan diri dari racun itu, ada orang yang memanfaatkan kekalutan itu dengan mengangkuti barang-barang berharga yang tersisa. Dasar maling……. Masih teganya menjarah.

Atmojo : sssstttt…. Hanya kalian tahu persoalan ini. Aku sudah cukup bersalah, menyesal, tak perlu lagi hukumna diberikan kepadaku. Baik…. Akiu akan tampar saja diriku sendiri…. Jangan minta lebih dari itu…. Apa kalian tak kasian denganku? Ada jabang bayi yang membutuhkanku.

Atmojo : anakku bukan bayi yang sembarangan, perlu dicatat.

Atmojo : (Resah) istriku belum genap mengandung 9 bulan. Baru berjalan 8 bulan, namun begitu segal;a persiapan untuk kelahiran anakku telah aku persiapkan, susdah 5 tahun kami menikah, ini adalah anak kami yang pertama, dari awal aku sudah menginginkan anak laki-laki. Sejak mabh narti masuk ke rumah, perasaanku sungguh tak karuan. Sejak subuh tadi mabh narti mulai memijit istriku, istrikupun Manahan sakit yang bikin aku jadi ngeri ketika mendengarnya, aku juga ikut merasakan kesakitan itu.

Atmojo : bagaimana mbah?

Atmojo : cerewet, kamu berdoa saja, jangan ganggu proses.

Atmojo : aku dengar istriku meminta aku menemaninya, tapi………….

Atmojo : dek, maaf mas takut kalo harus kesitu, mas takut dengan darah.

Atmojo : (perempuan) mas….. apakah tidak ingin menyaksikan pertama kali anakmu mengenal dunia?

Atmojo : maaf dek, kali ini permintaanmu terpaksa aku tolak, dari pada aku pingsan kerena melihat darah.

Atmojo : teriakan dan nafas tersenggal-sengal istriku makin jelas saja, pagi mulai dengan rupa-rupa oleh cahaya matahari yang menyembul dari balik pepohonan. Jantungku makin berdenyut kencang. Makin kencang makin kencang, makin kencang, makin kencang, lebih kencang, kusaksikan asbak diatas meja tiba-tiba gemetar, ada sebuah goncangan, barang-barang ikut bergoyang, makin jelas menggoncang, he… ini bukan lagi karena denyut jantungku……. Aku mendengar tangis jabang bayiku. Makin kencang, mengguncang, kencang….. aku tak tengah mabuk kan? Kencang………..

Sebuah guncangan

Beberapa saat berhenti.

Atmojo : sesaat tak kudengar tangis jabang bayiku. Semua tiba-tiba serba gelap. Tahu-tahu aku sudah ada pada tumpukan reruntuhan itu. Beberapa detik lamanya aku tak tersadar. Tak ada juga yang aku pikirkan.

Atmojo : beruntung mbah rahmi sempat membawa keluar jagoanku ketika kau tak bisa berbuat apa-apa karena terlebih dulu kepalaku sudah dihajar oleh runtuhan bangunan.

Sebuah musik dan koreo

Atmojo : ketika anakku berumur 6 tahun, kampung ini telah menjadi kampung bedeng, kami hidup selama bertahun-trahun pada rumah-rumah bedeng, maunya sementara saja, tapi akupun belum mampu untuk menyulap rumah menjadi megah seperti ketika dulu aku menjadi pengusaha warung makan. Anakku dengan teman sebayanya menghabiskan waktu bermain di perempatan lampu merah untuk mengamen, dia anak pinter…….. mau membantu kesusahan orang tua. Kehidupan menjadi sangat keras, di kota ini kejahatan juga semakin meningkat dalam 6 tahun ini, lokalisasi berkembang pesat, maklum banyak orang yang telah menjadi miskin dan lapar. Makanya dalam 6 tahun ini telah banyak menempa anakku menjadi anak yang tangguh, tidak manja. Tidak kuceritakan tentang rumah mewahnya dulu, biar mentalitasnya tidak kendor, tetap menjadi anak pekerja keras, seusianya sedang tahap belajar, belajar menghadapi hidup, dsan materi yang harus kamu kerjakan sekarang tidak mudah anakku. aku hanya sering cerita kalau ibunya adalah wanita yang sangat cantik. Ketika dia bertanya: apa aku pernah melihat ibu sebelumnya?

Musik mengalun, wajah nanar. Lampu redup, padam

Apa sebabnya perut bumi lapar, dan mengoyak daging mentah

Nanar diretaknya permukaan

Kematian itu telah bangunkan tidur mereka

Pagi hari berseka muka dengan darah.

Masa kembali berikan guratan luka

Dan parah

Mengangah sampai bernanah

Dan tumpah ruahlah air mata menggantikan mata air.

Menawarkan laut selatan, membekukan lahar merapi

Gusti, apakah ini lukisan mautmu

Atas kanvas yang coreng moreng warna gelap

Apakah ini bagian bait dari doa kami

Yang terhenti, dan merajam lewat maksiat

Gusti. Jangan bagi sengsara kami padi anak cucu kami

Cukup kami

Dan sampai disini

Kala, masa, bencana…..

Mulut jami telah terkatup

Tak berdaya……….

selesai

KARYA INI AKU DEDIKASIKAN UNTUK PARA KORBAN GEMPA JOGJA

Gepeng Nugroho, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar