Gepeng Nugroho,
Karya di tahun 2005
Untuk Seorang Wanitaku
Malam mengadung melati
Dari tetesan hujan yang mengguyur basahi sinar rembulan
Kilau wajah yang setengah teduh oleh sinar redup lampion
Diburu kurcaci dari rongga langit
Pada senyum yang mengingatkan kejantanaku
Membidik awan dan menelanjangi warna perak kesumat mimpi
Ditengah ruang yang memunculkan rupa-rupa
Wajahmu yang menerkam semua kunang
Pada lentera yang kobarkan warna keemasan tubuh kita
Ronggaku tercekik oleh lembar kata-kata yang belum sempat terlontar
Pada m,endung yang berikan tanda terhadap malam gerimis
Pada sore tadi, wajahmu belum lengang
Wajahmu belum lengang, karena kataku adalah sisi tajam pisau
Wajahmu belum lengang, karena belum habis kata-kata pemujaanku
Wajahmu belum lengang, karena senyummu adalah mata pisau
Wajahmu belum lengang, karena telah menikam dan bersarang dijantungku
Sampai malam inipun, dewa cinta menebarkan virusnya
Bersama redup lampion dan bau kesturi, kukagumi wajahmu
Tanganku menusap lembut rambut panjangmu, kuharap
Pada tikar pandan menjadi parmadani dan ranjang kita.
Sajak seorang sahabat kepada lelakinya, atas kekecewaan
Dibagian terdepan lembar harapku
Dan petakan kesetiaan sampai pada batas sadar
Kau rajuk dibalik garis cinta
Kugenapi malam dengan angka-angka atas rinduku
Dan kau yang memberi sekat hati
Ini adalah kesetiaanku untukmu
Ini adalah beban dari jejal harapku atas engkau
Ini adalah milikmu
Kenapa kau hentikan dengan dustamu?
Kenapa kau pecahkan dengan gada egomu?
Ini adalah racun atas lemah jiwaku
Sayang, coba kita terpejam
Berapa jarak
Adalah sepanjang kesetiaanku
Dan berbatas dustamu ……
Untuk garis batas pengagumanku
Aku lukis wajahmu pada perjalanan keping darahku
Menghentikan bola mata, menghardik lembar udara
Memintal syaraf
Pada bangku dan kursi beku
Deretan huruf dan angka-angka
Warnamu menyirat sukmamu
Sebuah perjumpaan
Kenapa kita masih diam ?
Kenapa kita baru berjumpa?
Kenapa kita berjarak?
Serba misterius
Berapa pertanyaan yang
Untuk bekas sebuah harapan
Sempat kau tutup mataku dengan rayumu
Bukan sekedar rayu tapi selongsong peluru
Tak dapat kuteruskan sajakku
Aku lupa wajahmu……………….
Suatu ketika, kebingunganku
Kupu-kupu hitam hinggap pada sajadah sembahyangku
Laron terbang dari tangan , kemudian rontok terkapar
Memetakan wajah pada lembar absensi
Kau memandang malam berhujan,
Pada sepi kutenggelam
Lelah
Kucari jantungku sampai pada sudut dan
gumpalan waktu
Titik Endap Khianat
Pada rambut anggraeni panji titipkan rindu
Pada bingkai wajah aku selipkan dahaga
Samudra berbusa oleh gumpalan ombak
Kabut menutupi pucuk cemara di setapak gunung
Racun menyedot umur ditengah kerlip metropolitan
Cinta hambar pada pergantian waktu
Pada waktu kutumpahkan ciptaku
Pada harapan kutambatkan jangkar dan tulang rapuhku
Pada anak cucuku kutebaskan umurku
Pada wanitaku kubidikan penyesalanku
Kapal sekoci telah tenggelam pada palung waktu
Disekitar kita kapal pesiar
Beradu dengan peghianatan
Aku berikan tawaran pada waktu akan datang
Tuhan berikan nasib dan jodoh
Beberkan kesetiaan pada lelaki itu
Lelaki bertengkar pada malam
Meminjam lolongan anjing dan satwa
Tinggal berdiam dan meniduri samsara
Terbang kesadaran bersama kelebat kelelawar
“aku lupakan janji, karena dia melupakan sumpah
aku terkam mimpi karena dia tikam hati
aku robek rembulan, karena dia racuni bintang-bintang
aku matikan rasa, karena dia mabukan murka”
lelaki duduk bersila dan berucap :
“kubuang saja kesetiaanku
menatap wanita berkubang dalam asbak,
esok kubelanjakan kesetiaan dipasar dan emper pertokoan cina”
isyarat dendam merasuk dalam rapuh waktu
dipenghujung malam masih janjikan sisa mimpi
Prolog I
Kubukukan kembali kisah ini
Dalam lembar terdepan berikutnya
Menunggu usang kisah sebelumnya
Prolog II
Di ujung sangkur, matamu berbicara
Pada ranjang kutukan dimulai
Menanti malam siap menerkam karang
Batin membatu diujung sendawa
Prolog III
Esok matahari masih terbit dari barat
Namun kemana arah mata angin aku bertanya
Prolog IV
Kusisakan tapak kaki pada pasir
Sebentar lagi ombak laut akan menghapusnya
Prolog V
Aku sisakan sebagian nafasku
Untuk membidik rembulan, dan menenggelamkan samudra pada kawah
Pada teraungan wadas aku ambil gambarmu, lewat kilatan halelintar
Sementara kuserahkan nyawa pada badai tak berbencana
Prolog VI
Retorika
Retorika
Aku makan dan kusumpal telingaku dengan suara suara anak
Berbekal kuda tebog pinggir
Pasrah
Mengungkap payau kisah dari anggraeni
Bertekuk lutut pada ruas megah panji
Telunjukku menahan matahari
Agar malam tak segera terang
Beberapa perjamuan dengan dewa-dewa belum tercambangi
Dan sebagian kitab asmaradana masih terselip ditulang iga
Ku jauhkan rinduku dari sajak
Cukup hatiku yang kaku dan memandang separo rembulan
Separo yang laen untuk wanita dalam takdirku
Lalu menunggu racun mengakses nyawa
Lewat darahku
Tunggui aku,
Dan baringkan ditubuhmu
Aku Penyamun Itu
Selat merekah menunggu hujan
Di tujuh hulu, air berkilau memecah kilat halelintar
Lalu mengikatnya kembali menjadi buah dendam
Pada sejarah yang tak kembali
Sisa sejarah yang terjajah
Maafkan aku
Yang menyekapmu
Lalu membuang di tengah samudra
Lelaki Pemakan Maut
Kenapa tak kau nikmati saja ranum bibir istrimu
Malam ini .........
Telah kau hentikan di depan durga pemujaanmu
Dan manantang maut ditengah cakrawala
Telah tersimpan keletihanmu pada telaga
Terbakar habis pada batang rokok kemenyan
Dan sukmamu berkubang didalam asbak
Yang lekas terbang menyatu pada mendung berarak
Kau minum darah orang-orang dijantung kota
Pada batas kematian dan ketakutan
Sambil memegang lapar dengan ujung bilah pisau
Di sudut ini, kantung-kantung pejalan terancam maut
Aku Berbolak-balik
Kepada Rahmawati
Aku yang telah menghianatimu
Pria ini bukanlah yang dulu
yang kagumi rambut panjangmu
yang nyanyikan kebisuanmu, bercerita
dan janjikan bagian hatinya
Lihat wajahnya, telah kusam
telah banyak yang menjamah
pipi, bibir, kening, termasuk hati
mereka telah punya hak
telah ada stempel ratusan dewa
diperkuat dengan paraf dewa urusan perselingkuhan
Aku bukan lelakimu lagi
yang bijak dan suci seperti brahmana di acara resepsi
lelakimu adalah kucing, yang pandai
menggelian mencari pembenaran
lelakimu adalah karyawan free line sebuah penerbit roman picisan
yang beredar setiap tumbuh syahwatnya
lelakimu bukan lagi lelaki
yang setia menunggu kebisuanmu
lupakan lelakimu…………
Mataku tertuju pada cicak
Cicak, cicak…
Mengedap suara malam dengan perenungan
menceritakan perjalanan hidup, denganku di pembaringan
Cicak, cicak….
Kukisahkan dukaku, lukaku, penatku,
lunglaiku, resahku, gairahku, citaku
harapku, idealismeku, jangkauku, cintaku
hidupku, jalanku, sejarahku, kebusukanku
luhurku………
cicak,cicak………
bertenger tenang di tembok kamar
sinar lampu lewat jendela rumah-rumah telah di matikan
sayup suara batuk dari rumah tetangga
gejala influenza barangkali
sesekali suara cicak juga mengejutkan
tanganku mulai malas menulis
demikian halnya mataku
tak dapat berkompromi
cicak, cicak……..
bangunkan aku esok hari
Mata - mata
Alzais
Ribuan pasang serigala tajam
Taringnya memaksa menerkam dan mengerat jantungku
Ribuan pasang mata mendendam
Menebar racun pada robekan ozon
Terhadap cengkrama kita, aku percaya
Karena kita memang tengah mabuk
Dan arah penjuru mata angin tak jelas
Oleh kasat mata
Al zais
Ribuan pasang mata serigala lapar
Mengincar tulang rapuhku, padahal sementara ini hanya itu
yang aku punya
aku berpegangan pada pinggulmu yang anggun
dan tanganmu yang tengah coba petakan dunia
untuk tentramkan kegusaranku
Alzais
Pasang-pasang mata sangar itu entah musuh atau dosaku
Karena semakin nyata dalam mata terpejamku
Alzais
Dekatkan tubuhmu, agar aku bisa memelukmu
Paling tidak mengurangi rasa takutku
Alzais
Kita mengungsi di puncak fujiyama dengan rajawali
Pindahkan menara eifel dan monas
Kita susun, dan berdiri kita di pucuknya
Borobudur tempat perenungan kita
Atau cukup dengan madumu, telah mampu atasi ?
Karna warna antariksa ada padamu
Alzais……….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar