Selasa, 07 Juli 2009

EXTRA : Antologi Puisi

Gepeng Nugroho,

Karya di tahun 2005


Untuk Seorang Wanitaku

Malam mengadung melati

Dari tetesan hujan yang mengguyur basahi sinar rembulan

Kilau wajah yang setengah teduh oleh sinar redup lampion

Diburu kurcaci dari rongga langit

Pada senyum yang mengingatkan kejantanaku

Membidik awan dan menelanjangi warna perak kesumat mimpi

Ditengah ruang yang memunculkan rupa-rupa

Wajahmu yang menerkam semua kunang

Pada lentera yang kobarkan warna keemasan tubuh kita

Ronggaku tercekik oleh lembar kata-kata yang belum sempat terlontar

Pada m,endung yang berikan tanda terhadap malam gerimis

Pada sore tadi, wajahmu belum lengang

Wajahmu belum lengang, karena kataku adalah sisi tajam pisau

Wajahmu belum lengang, karena belum habis kata-kata pemujaanku

Wajahmu belum lengang, karena senyummu adalah mata pisau

Wajahmu belum lengang, karena telah menikam dan bersarang dijantungku

Sampai malam inipun, dewa cinta menebarkan virusnya

Bersama redup lampion dan bau kesturi, kukagumi wajahmu

Tanganku menusap lembut rambut panjangmu, kuharap

Pada tikar pandan menjadi parmadani dan ranjang kita.




Sajak seorang sahabat kepada lelakinya, atas kekecewaan

Dibagian terdepan lembar harapku

Ada sajak coreng moreng dari tinta biruku

Dan petakan kesetiaan sampai pada batas sadar

Kau rajuk dibalik garis cinta

Kugenapi malam dengan angka-angka atas rinduku

Dan kau yang memberi sekat hati

Ini adalah kesetiaanku untukmu

Ini adalah beban dari jejal harapku atas engkau

Ini adalah milikmu

Kenapa kau hentikan dengan dustamu?

Kenapa kau pecahkan dengan gada egomu?

Ini adalah racun atas lemah jiwaku

Sayang, coba kita terpejam

Berapa jarak semarang – magelang

Adalah sepanjang kesetiaanku

Dan berbatas dustamu ……




Untuk garis batas pengagumanku

Aku lukis wajahmu pada perjalanan keping darahku

Menghentikan bola mata, menghardik lembar udara

Memintal syaraf

Pada bangku dan kursi beku

Deretan huruf dan angka-angka

Warnamu menyirat sukmamu




Sebuah perjumpaan

Kenapa kita masih diam ?

Kenapa kita baru berjumpa?

Kenapa kita berjarak?

Serba misterius

Berapa pertanyaan yang kan kau ajukan untukku?




Untuk bekas sebuah harapan

Sempat kau tutup mataku dengan rayumu

Bukan sekedar rayu tapi selongsong peluru

Tak dapat kuteruskan sajakku

Aku lupa wajahmu……………….



Suatu ketika, kebingunganku

Kupu-kupu hitam hinggap pada sajadah sembahyangku

Laron terbang dari tangan , kemudian rontok terkapar

Memetakan wajah pada lembar absensi

Kau memandang malam berhujan,

Pada sepi kutenggelam

Lelah

Kucari jantungku sampai pada sudut dan

gumpalan waktu




Titik Endap Khianat

Pada rambut anggraeni panji titipkan rindu

Pada bingkai wajah aku selipkan dahaga

Samudra berbusa oleh gumpalan ombak

Kabut menutupi pucuk cemara di setapak gunung

Racun menyedot umur ditengah kerlip metropolitan

Cinta hambar pada pergantian waktu

Pada waktu kutumpahkan ciptaku

Pada harapan kutambatkan jangkar dan tulang rapuhku

Pada anak cucuku kutebaskan umurku

Pada wanitaku kubidikan penyesalanku

Kapal sekoci telah tenggelam pada palung waktu

Disekitar kita kapal pesiar

Beradu dengan peghianatan

Aku berikan tawaran pada waktu akan datang

Tuhan berikan nasib dan jodoh




Beberkan kesetiaan pada lelaki itu

Lelaki bertengkar pada malam

Meminjam lolongan anjing dan satwa

Tinggal berdiam dan meniduri samsara

Terbang kesadaran bersama kelebat kelelawar

“aku lupakan janji, karena dia melupakan sumpah

aku terkam mimpi karena dia tikam hati

aku robek rembulan, karena dia racuni bintang-bintang

aku matikan rasa, karena dia mabukan murka”

lelaki duduk bersila dan berucap :

“kubuang saja kesetiaanku

menatap wanita berkubang dalam asbak,

esok kubelanjakan kesetiaan dipasar dan emper pertokoan cina”

isyarat dendam merasuk dalam rapuh waktu

dipenghujung malam masih janjikan sisa mimpi




Prolog I

Kubukukan kembali kisah ini

Dalam lembar terdepan berikutnya

Menunggu usang kisah sebelumnya


Prolog II

Di ujung sangkur, matamu berbicara

Pada ranjang kutukan dimulai

Menanti malam siap menerkam karang

Batin membatu diujung sendawa



Prolog III

Esok matahari masih terbit dari barat

Namun kemana arah mata angin aku bertanya




Prolog IV

Kusisakan tapak kaki pada pasir

Sebentar lagi ombak laut akan menghapusnya


Prolog V

Aku sisakan sebagian nafasku

Untuk membidik rembulan, dan menenggelamkan samudra pada kawah

Pada teraungan wadas aku ambil gambarmu, lewat kilatan halelintar

Sementara kuserahkan nyawa pada badai tak berbencana


Prolog VI

Retorika

Retorika

Aku makan dan kusumpal telingaku dengan suara suara anak

Berbekal kuda tebog pinggir kota



Pasrah

Mengungkap payau kisah dari anggraeni

Bertekuk lutut pada ruas megah panji

Telunjukku menahan matahari

Agar malam tak segera terang

Beberapa perjamuan dengan dewa-dewa belum tercambangi

Dan sebagian kitab asmaradana masih terselip ditulang iga

Ku jauhkan rinduku dari sajak

Cukup hatiku yang kaku dan memandang separo rembulan

Separo yang laen untuk wanita dalam takdirku

Lalu menunggu racun mengakses nyawa

Lewat darahku

Tunggui aku,

Dan baringkan ditubuhmu




Aku Penyamun Itu

Selat merekah menunggu hujan

Di tujuh hulu, air berkilau memecah kilat halelintar

Lalu mengikatnya kembali menjadi buah dendam

Pada sejarah yang tak kembali

Sisa sejarah yang terjajah

Maafkan aku

Yang menyekapmu

Lalu membuang di tengah samudra




Lelaki Pemakan Maut

Kenapa tak kau nikmati saja ranum bibir istrimu

Malam ini .........

Telah kau hentikan di depan durga pemujaanmu

Dan manantang maut ditengah cakrawala

Telah tersimpan keletihanmu pada telaga

Terbakar habis pada batang rokok kemenyan

Dan sukmamu berkubang didalam asbak

Yang lekas terbang menyatu pada mendung berarak

Kau minum darah orang-orang dijantung kota

Pada batas kematian dan ketakutan

Sambil memegang lapar dengan ujung bilah pisau

Di sudut ini, kantung-kantung pejalan terancam maut


Aku Berbolak-balik

Kepada Rahmawati

Aku yang telah menghianatimu

Pria ini bukanlah yang dulu

yang kagumi rambut panjangmu

yang nyanyikan kebisuanmu, bercerita

dan janjikan bagian hatinya

Lihat wajahnya, telah kusam

telah banyak yang menjamah

pipi, bibir, kening, termasuk hati

mereka telah punya hak

telah ada stempel ratusan dewa

diperkuat dengan paraf dewa urusan perselingkuhan

Aku bukan lelakimu lagi

yang bijak dan suci seperti brahmana di acara resepsi

lelakimu adalah kucing, yang pandai

menggelian mencari pembenaran

lelakimu adalah karyawan free line sebuah penerbit roman picisan

yang beredar setiap tumbuh syahwatnya

lelakimu bukan lagi lelaki

yang setia menunggu kebisuanmu

lupakan lelakimu…………




Mataku tertuju pada cicak

Cicak, cicak…

Mengedap suara malam dengan perenungan

menceritakan perjalanan hidup, denganku di pembaringan

Cicak, cicak….

Kukisahkan dukaku, lukaku, penatku,

lunglaiku, resahku, gairahku, citaku

harapku, idealismeku, jangkauku, cintaku

hidupku, jalanku, sejarahku, kebusukanku

luhurku………

cicak,cicak………

bertenger tenang di tembok kamar

sinar lampu lewat jendela rumah-rumah telah di matikan

sayup suara batuk dari rumah tetangga

gejala influenza barangkali

sesekali suara cicak juga mengejutkan

tanganku mulai malas menulis

demikian halnya mataku

tak dapat berkompromi

cicak, cicak……..

bangunkan aku esok hari


Mata - mata

Alzais

Ribuan pasang serigala tajam

Taringnya memaksa menerkam dan mengerat jantungku

Ribuan pasang mata mendendam

Menebar racun pada robekan ozon

Terhadap cengkrama kita, aku percaya

Karena kita memang tengah mabuk

Dan arah penjuru mata angin tak jelas

Oleh kasat mata

Al zais

Ribuan pasang mata serigala lapar

Mengincar tulang rapuhku, padahal sementara ini hanya itu

yang aku punya

aku berpegangan pada pinggulmu yang anggun

dan tanganmu yang tengah coba petakan dunia

untuk tentramkan kegusaranku

Alzais

Pasang-pasang mata sangar itu entah musuh atau dosaku

Karena semakin nyata dalam mata terpejamku

Alzais

Dekatkan tubuhmu, agar aku bisa memelukmu

Paling tidak mengurangi rasa takutku

Alzais

Kita mengungsi di puncak fujiyama dengan rajawali

Pindahkan menara eifel dan monas

Kita susun, dan berdiri kita di pucuknya

Borobudur tempat perenungan kita

Atau cukup dengan madumu, telah mampu atasi ?

Karna warna antariksa ada padamu

Alzais……….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar